Ada
sebuah puncak bukit yang menyembul di tengah sebuah kota. Bukit itu adalah
Bukit Tidar yang tersohor sebagai pakunya Pulau Jawa. Sementara di kakinya ada
kota Magelang, kota yang tumbuh dari garnisun militer menjadi kota pegunungan
terindah di Jawa Tengah. Bergstad van Midden Java adalah julukan yang diberikan orang Belanda pada Magelang Magelang karena letaknya di tengah lingkar pegunungan. Kendati tak sebesar kota-kota lain di Jawa, Magelang
mengkoleksi banyak sekali bangunan kuno yang menarik. Inilah ikhtiar saya dalam
melihat bayang-bayang masa lalu kota Magelang.
Pemandanan udara kota Magelang dilihat dari sebelah barat. Rumah besar di kiri foto adalah kediaman residen Kedu. |
Di
tengah lingkaran kaki gunung berapi Sumbing, Merbabu, Sindoro, Menoreh, dan
Merapi, terhampar sebuah dataran luas yang dikenal sebagai dataran Kedu. Berbagai
monumen peradaban kuno karya besar leluhur terserak di dataran yang terhampar
bagai permadani hijau itu. Letaknya yang berada di ketinggian 400 mdpl
menjadikan iklim dataran Kedu cukup ramah untuk ukuran orang Eropa yang tak
tahan iklim tropis. Tidak terlalu panas di siang hari, namun tidak terlalu
dingin pula di malam hari. Iklimnya setara dengan iklim Italia Selatan. Dengan
segala keindahan dan kenyamanan yang melekat padanya, tak heran jika dataran
ini menyandang gelar sebagai Tuin van Java, tamannya Pulau Jawa. Di Jawa, hanya
dataran bumi Priangan saja yang dapat mengalahkan keindahan dataran Kedu. Persis
di tengah dataran subur itu, menyembul sebuah bukit kecil. Bukit Tidar namanya
yang menurut legenda adalah pakunya Pulau Jawa dan di kaki bukit itulah kota
Magelang berada (Anonim, 1936; 10).
Ada banyak kisah tentang
asal-usul nama Magelang. Salah satunya berdasarkan tafsir dari M.M. Soekarto
yang menyebutkan asalnya dari nama Desa Glang-glang sebagaimana disebutkan pada
prasasti Poh yang dikeluarkan atas titah Dyah Balitung. Magelang memang telah
ada sejak masa peradaban Mataram kuno, walau saat itu masih berupa desa kecil
yang terdiri dari beberapa kampung yaitu Dukuh, Tulung, Boton Kopen, Boton
Bolong dan Meteseh. Gaung Magelang kemudian sempat tenggelam selama beberapa
abad. Pada abad ke-15, Magelang berada dalam wilayah Kedu yang silih berganti
penguasa selama beberapa abad. Sekitar awal abad ke-17, Kedu dimasukan dalam
Kerajaan Mataram. Sesudah Perang Suksesi Jawa 1746-1755, wilayah Kedu dipotong untuk
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Wilayah Kedu baik yang dimiliki oleh
Surakarta maupun Yogyakarta akhirnya disatukan kembali ke dalam pangkuan
pemerintah kolonial Inggris pada 1 Agustus 1812. Secara administratif, wilayah
Kedu saat itu dimasukan ke dalam Karesidenan Pekalongan. Barulah pada tahun
1817, Kedu menjadi karesidenan tersendiri yang terdiri dari dua kabupaten,
yakni Magelang dan Menoreh. Pengaruh kolonial sejak saat itu mulai begitu
dominan dalam perkembangan dan pembangunan kota Magelang hingga pendudukan
Jepang (Nessel van Lissa dalam De Locomotief, 31 Januari 1936).
Tanah
vulkanis nan subur terhampar di dataran Kedu yang dikelilingi gunung-gunung
berapi. Komisaris Inggris, John Crawford, dalam laporannya tentang Distrik Kedu
menyebutkan bahwa tembakau dari dataran Kedu sangat diminati oleh pasaran luar.
Arus perdagangan cukup ramai di sana dan ada banyak pasar yang ramai di daerah
ini. Saat masih berada di bawah Kasunanan Surakarta dan Kasulatanan Yogyakarta,
Kedu menjadi lumbung uang dua keraton itu. Sumber pendapatan berasal dari pajak
yang dipungut dari gerbang-gerbang tol yang tersebar di Kedu. Sebelum Perang
Jawa pecah, Magelang masih menjadi kota kecil yang tenang dan makmur.
Kemakmuran dan kedamaian itu memang sempat terusik saat Perang Jawa mulai
bergemuruh pada 1825. Kala itu, kota
Magelang terkepung oleh pasukan pengikut Diponegoro dan rakyat yang bersimpati
kepadanya. Jenderal De Kock lantas memindahkan markas besarnya dari Surakarta
ke Magelang pada tahun 1828. Meskipun perang sedang berkecamuk di luar, Kota
Magelang justru menangguk untung selama periode tersebut. Residen Valck dalam
laporannya pada tahun 1827 menyebutkan bahwa “pasar tetap dihadiri banyak orang
dan perdagangan di dalamnya menjadi sangat menjadi sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan Angkatan Perang. Pasar Magelang menjual banyak produk sangat
luar biasa dalam hal ini".Perlawanan Diponegoro melawan
Belanda berangsur-angsur dipatahkan dan berakhir sesudah Pangeran Diponegoro
ditangkap di kediaman Residen Kedu. Perang Jawa pun usai, namun riwayat kota
Magelang tak berhenti sampai di sini. Perang Jawa mengubah Magelang dari
sekedar kota administrasi menjadi pusat militer yang penting di Jawa Tengah.
Jalan raya utama kota Magelang yang berdampingan dengan rel NIS di sebelah kanan (sumber : media-kitlv.nl) |
Perdamaian
pulih kembali sesudah Perang Jawa berakhir dan sejak saat itu Magelang memasuki era perdamaian yang cukup
panjang. Pemerintah kolonial lambat laun berupaya memelihara kota koloninya. Pembangunan
infrastruktur mulai digalakan secara bertahap, terutama jalan raya yang
menghubungkan Magelang dengan tempat lain. Prasarana jalan raya menjadi
prioritas pemerintah kolonial karena kondisi jalan saat itu masih buruk sehingga
menghambat arus perdagangan yang perlahan mulai ramai. Saat itu, perjalanan
dari Magelang ke Semarang masih melewati Grabak-Salatiga. Pemerintah kolonial
kemudian membuat jalan baru ke Pringsurat pada 1833. Kemudian pada 1842, jalan
tersebut diperpanjang ke Ambarawa sehingga terhubunglah Magelang dan Semarang
via Ambarawa. Masih di tahun yang sama, pemerintah kolonial juga membukan jalan
Magelang-Salaman dan kemudian diikuti dengan pembangunan jalan raya Salaman-Purworejo
pada 1851. Kota Magelang akhirnya berhasil tersambung dengan tempat-tempat
penting liannya. Jaringan jalan raya tersebut dilengkapi pos-pos pemberhentian tempat
kurir pemerintah dapat beristirahat atau mengganti kuda. Sementara di dalam
kota Magelang sendiri, jalan yang melintasi tengah kota Magelang mulai ditata.
Sepanjang jalan dalam kota, ditanami pohon-pohon perindang yang memberi
kesejukan udara pada siapapun yang berjalan di bawahnya. Pada penghujung abad
ke-19, kedudukan strategis Magelang diperkuat dengan pembangunan jalur rel
Yogyakarta - Magelang - Ambarawa dan Setjang - Parakan oleh maskapai kereta Nederlandsch
Indisch Spoorweg. (Anonim, 1936 ; 22).
Alun-alun Magelang saat menjadi tempat pameran hasil bumi dan ternak pada tahun 1924. (sumber : media-kitlv.nl). |
Inggris memiliki peran
penting dalam sejarah kota Magelang karena pada tahun yang sama saat wilayah
Kedu dikuasai Inggris, pemerintah Inggris memilih kota Magelang sebagai ibukota
kabupaten Magelang karena letaknya yang strategis. Inggris lalu mengangkat Mas
Ngabei Danoekromo sebagai bupati pertama Magelang. Saat kekuasaan pulau Jawa
kembali diserahkan ke Belanda, bupati Magelang yang diangkat oleh Inggris tetap
berada di kursi bupati dan mendapat gelar baru Raden Tumenggung Danoeningrat
pada tahun 1813. Selama kurun waktu yang cukup lama, Magelang memiliki bupati
yang berasal dari trah Danoeningrat. Bupati Danoeningrat I membentuk wajah awal
kota Magelang dengan pendirian alun-alun, masjid, dan tempat tinggal bupati
sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan simbol kewibawaan pemimpin Jawa. Alun-alun
Magelang sebagaimana kota-kota masa kolonial dikerumuni oleh gedung-gedung
penting. Di sebelah barat alun-alun, terdapat masjid yang dalam lanskap tata
kota Jawa umumnya terletak di sebelah barat alun-alun. Kemudian di sebelah
utara alun-alun, terdapat kediaman bupati dan keluarganya. Rumah bupati
Magelang dahulu berdiri di tempat gereja Protestan sekarang berdiri sebelum
kemudian digeser agak ke barat. Rumah bupati sudah lama hancur pada persitiwa
bumihangus Magelang saat perang revolusi kemerdekaan. Seiring kemajuan kota
Magelang, bangunan lainnya pun berdiri di sekitar alun-alun seperti gereja,
kantor Pos dan Telepon, kantor perusahaan dagang Escompto, sekolah MOSVIA,
sosieteit, hingga hotel. Alun-alun Magelang juga menjadi lokasi perhelatan
berbagai acara yang digelar oleh pemerintah kolonial.(Algemeen
Handelsblad 7 Desember 1938).
Masjid Agung Magelang pada abad ke-19 (sumber : media-kitlv.nl) |
Masjid Agung Magelang hasil pemugaran R.T. Danoesoegondo dan tampak sekarang (sumber : media-kitlv.nl). |
Berada di sebelah barat alun-alun adalah Masjid Agung Magelang yang dibangun pada tahun 1810, bertepatan dengan pemerintahan bupati pertama Magelang, RA Danoediningrat I. Masjid ini berulangkali beralih rupa. Pada tahun 1836 direnovasi oleh R.A.A Danoeningrat II dan pada tahun 1871 oleh R.T. Danoeningrat III. Selanjutnya pada masa R.A. Danoekoesomo (bupati ke-4 Magelang), ditambahkan serambi pada bagian depan masjid. Penambahan selanjutnya dilakukan oleh R.A.A. Danoesoegondo (bupati ke-5 Magelang) dengan menambahkan ruang samping kanan dan kiri masjid karena masjid tidak mampu menampung jemaat saat ibadah shalat Jum’at. Rupa masjid yang sekarang adalah hasil perombakan bupati Magelang ke 5, R.T. Danoesoegondo pada tahun 1934. Saat itu, kebutuhan ruang terhadap Masjid Agung Magelang semakin mendesak sehingga dilakukan renovasi besar-besaran terhadap Masjid Agung Magelang. Sejumlah bahan seperti batu kali, kerikil, pasir, bata, dan kapur disumbakan dari warga Magelang untuk merenovasi masjid tersebut. Selain bahan bangunan, mereka juga menyumbang sejumlah besar uang yang dikumpulkan dari kotak amal yang diletakan dekat masjid. Pekerjaan renovasi masjid Magelang dilimpahkan kepada kantor konstruksi H. Pluyter dengan arahan dari bupati R.A.A. Danoesoegondo (De Locomotief, 15 April 1935). Oleh Pluyter, serambi depan yang yang sudah diperluas diberi sentuhan gaya arsitektur Indo-Mughal. Pemilihan gaya tersebut dikritik oleh arsitek Soesilo yang menurutnya tidak serasi dengan lingkungan sekitarnya (Soesilo, 1937; 154). Bangunan Masjid Agung Magelang memiliki tata ruang yang masih umum dijumpai pada masjid-masjid kama di Jawa, yakni terdiri dari ruang salat utama dan serambi. Pada bagian ruang salat utama, terdapat empat tiang saka guru yang menopang konstruksi atap masjid. Di bagian ini dapat dijumpai maksurah, yakni bilik kecil yang diperuntukan sebagai ruang salat khusus bupati. Sementara itu, bagian serambi dapat dijumpai pada sisi utara, timur, dan selatan masjid. Serambi-serambi tersebut ditopang oleh tiang-tiang dari beton.
GPIB Magelang pada awal abad 20 (sumber : media-kitlv.nl) |
Bergeser ke selatan alun-alun yang menjadi gerbang masuk ke kawasan Pecinan, terdapat bangunan keagamaan orang Tionghoa yang disebut kelenteng. Sayang bangunan asli kelenteng Magelang sudah terlalap api pada tahun 2014 dan kini diganti dengan bangunan baru yang tidak mencermikan bangunan lamanya.
Gereja St. Ignatius Magelang sebelum dirombak tahun 1960an. Gedung gereja dibangun dalam gaya Neo-Romanesque (sumber : media-kitlv.nl). |
Berjalan
sedkit ke barat dari alun-alun, terdapat kompleks gereja Katolik St.Ignatius. Kota
Magelang adalah kota garnisun yang dihuni oleh tentara dari berbagai latar belakang
yang berbeda. Selain beragama Kristen Protestan, beberapa tentara ada yang
merupakan pemeluk agama Katolik. Sejak tahun 1880an, Pastor Franciscus Voogel,
S.J, ditempatkan di sana untuk memberikan pelayan kepada tentara-tentara
tersebut. Kegiatan ibadah dilangsungkan di beranda belakang rumah pastor Voogel.
Seiring dengan perkembangan jemaat, maka muncul rencana untuk membangun bangunan
gereja yang lebih besar. Namun rencana tersebut tertunda seiring dengan
penugasan Pastor Voogel untuk mendampingi tentara dalam ekspedisi Lombok.
Selepas Pastor Voogel kembali ke
Magelang, rencana tersebut lagi-lagi tertunda karena Pastor Voogel pergi
ke Belanda untuk berobat. Pembangunan gereja baru dilaksanakan setelah W. van den
Heuvel tiba di Magelang pada 29 Juni 1898. Rancangan gereja dibuat oleh pengawas
bangunan dari Waterstaat (kantor pengairan), W. Ziesel. Penggalian
pondasi dimulai pada Mei 1899 sesudah berlalunya musim hujan. Sementara upacara
peletakan batu pertama dilangsungkan pada 31 Juli 1899 bertepatan dengan perayaan
St. Ignatius. Karena bahan bangunan di Magelang saat itu masih jarang, maka
pembangunan gereja berlangsung pelan. Saat bagian atap bangunan gereja hampir tuntas,
W. Ziesel dipindahkan ke tempat lain sehingga pembangunan gereja diawasi oleh
A. van Bebber. Sesudah melalui banyak rintangan, bangunan gereja akhirnya
ditasbihkan pada 30 September 1900. Sayangnya, bangunan gereja tersebut tidak
dapat berumur lama karena terbakar habis saat Perang Kemerdekaan. Keberadaan berbagai tempat ibadah di sekitar alun-alun merupakan cermin kemajemukan komunitas masyarakat yang tinggal di Magelang, yakni Tionghoa, Belanda dan, pribumi.
Foto bangunan gereja Gereformeerde Kerk Magelan pada tahun 1930an. (Sumber : collectie.wereldculturen.nl) |
Sisa dari rumah sakit zending Magelang yang saat ini menjadi bagian dari RSUD Tidar. |
Rumah sakit zending Magelang pada tahun 1937 (sumber : Gedenkboek Zending Der Gereformeerdekerken van Zeeland, Noord Brabant en Limburg in Magelang en Temanggoeng.) |
Selain zending Gerefomeerde Kerken, Magelang juga menjadi tempat penyebaran agama Kristen oleh kelompok Kristen Hersteld Apostilische atau Kerasulan Baru. Kelompok tersebut didrikan di Inggris pada 1831 oleh Edward Irving, seorang pastor asal Skotlandia. Gereja Kerasulan Baru diperkenalkan di Hindia-Belanda oleh mantan pejabat pengadilan tinggi di Batavia bernama Frederik Lodewijk Anthing pada tahun 1881. Tidak lama kemudian Anthing meninggal pada tahun 1883 karena kecelakaan dan kegiatan Gereja Kerasulan Baru di Hindia-Belanda diteruskan oleh murid Anthing, Rasul Liem Tjoe Kiem. Kegiatan penyebaran Kristen oleh Rasul Liem Tjoe Kiem ini mendapatkan banyak pengikut dari seputaran desa di Magelang. Keberadaan Gereja Kerasulan Baru di Magelang tersebut rupanya memikat seorang tokoh Kristen kharimastik dari Purworejo sekaligus mantan murid Anthing lainnya, Kyai Sadrach yang memutuskan bergabung dengan Gereja Kerasulan Baru pada tahun 1899 dan kemudian ia diangkat sebagai Rasul untuk kalangan Jawa. Perkembangan Gereja Kerasulan Baru di Magelang akhirnya mendorong jemaat di sana untuk membangun gedung gereja permanen di Bayeman tahun 1927 dengan dana pembangunan dari sumbangan sukarela jemaat (De Locomotief, 1 Desember 1927).
Menara air Magelang, salah satu tengara kota Magelang. |
Bangunan menara air
atau watertoren di salah satu sudut alun-alun masih terlihat perkasa. Ukurannya
yang besar, bentuknya yang unik seperti kompor raksasa, serta letaknya di
tempat keramaian adalah alasan bangunan ini menjadi bangunan paling ikonik di
kota ini. Air dimanapun berada dan kapanpun masanya merupakan kebutuhan penting
bagi sebuah permukiman. Segala upaya dilakukan oleh pemegang kebijakan pasokan
air terjamin untuk warganya. Di Magelang, upaya untuk memenuhi kebutuhan air
bagi warga mulai dilakukan oleh Gemeente Magelang sejak tahun 1916.
Awalnya pasokan air diutamakan untuk keperluan garnisun militer terlebih
dahulu. Kemudian pasokan air diperluas untuk penduduk sipil (De Locomotief, 24
Mei 1917). Air bersih untuk kota Magelang diperoleh dari mata air Wulung dan
Kalegen. Sarana air bersih tersebut membutuhkan bangunan bak penampungan air untuk
menyimpan cadangan air. Bak penampungan air yang saat ini berdiri di sudut
alun-alun Magelang adalah rancangan dari insinyur zeni militer bernama Mayor L.
Swaab. Dalam proses perencanaan, Swaab bersaing dengan insinyur zeni
lainnya bernama Mayor van Tongeren. Berbeda dengan Swaab, rancangan van
Tongeren menempatkan menara air di dekat Sungai Progo. Singkat cerita, gemeente
memilih rancangan Swaab. Persoalan muncul saat dimanakah menara air itu
akan diletakan di dalam kota. Dinas zeni militer menganjurkan agar bangunan besar itu
ditempatkan di alun-alun tapi ada keberatan dari bupati. Sementara saat hendak
ditempatkan di belakang gereja Protestan, pihak dewan gereja juga keberatan. Pilihan
lainnya adalah menempatkan menara air di belakang kantor Burgerlijke
Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) atau di kampung sebelah masjid agung.
Tidak jelas bagaimana ceritanya, akhirnya menara air tersebut tetap dibangun di
alun-alun mengikuti anjuran zeni (De
Locomotief 27 November 1920). Menara air tersebut memiliki cara kerja sebagai
berikut ; air diisi ke bak penampungan yang ada di ketinggian dengan mesin
pompa. Lalu dengan bantuan gravitasi, air di bak penampungan dialirkan ke rumah
tangga. Menara air berperan untuk menjaga pasokan air selama masa puncak
penggunaan yang biasanya terjadi di pagi dan siang hari. Pada malam hari saat
penggunaan air menurun, air akan diisi kembali ke bak penampungan. Selama
pemadaman listrik, saat mesin pompa tidak
bisa bekerja, menara air menggantikan peran mesin pompa dalam memasok air
karena air disalurkan ke rumah-rumah penduduk dengan bantuan gravitasi.
Tentunya dengan catatan pemadaman listrik tidak berlangsung lama karena
cadangan air di bak penampungan menara air akan menipis jika digunakan terlalu
lama dan perlu diisi ulang dengan mesin pompa.
Salah satu plengkung Kali Manggis. |
Selain itu, pemerintah kolonial juga membuat akuaduk atau saluran air yang airnya
berasal dari Kali Manggis. Masyarakat Magelang masa kini mengenalnya dengan
nama Saluran Kali Manggis. Saluran itu mulai digali pada 1857 dan kemudian
disempurnakan beberapa tahun berikutnya (Anonim, 1936; 22). Hingga sekarang,
air masih senantiasa mengalir lewat saluran yang membelah kota Magelang itu.
Begitu banyak fungsi saluran air ini, dari sebagai saluran irigasi, sarana air
minum, hingga untuk menanggulangi bencana kebakaran yang kerap melanda Magelang
di masa lampau karena saat itu masih banyak bangunan dari bambu. Karena saluran
itu melintang di tengah kota, maka dibuatlah tiga buah pelengkung (https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/saluran-air-kali-manggis/).
Kantor dewan kotapraja Magelang. Bangunan sudah hilang (Sumber : collectie.wereldculturen.nl). |
Kota
itu kian menonjol setelah Karesidenan Bagelen dilebur bersama Karesdienan Kedu.
Magelang akhirnya memainkan peran penting sebagai ibukota karesidenan dan
pangkalan militer Belanda di Kedu. Puncaknya adalah tahun 1906, lewat UU Decentralitatiewet, Magelang disahkan
sebagai kotamadya sejak 21 Februari 1906 (Anonim, 1836; 7). Dengan adanya
kebijakan ini, kota Magelang memiliki pemerintahan otonom yang dikelola secara
profesional layaknya kota-kota di dunia barat . Sebagai kepala wilayah,
ditunjuk seorang walikota atau kepala daerah. Gementee Magelang sempat memiliki sebuah kantor atau raadhuis yang sayangnya sudah hancur
sewaktu perang kemerdekaan.
Kawasan kampung Kwarasan dewasa ini. |
Miniatur Kampung Kwarasan (sumber : Locale Techniek 1937). |
Bekas markas polisi militer zaman Belanda (sumber : media-kitlv.nl). |
Hingga
hari ini, Magelang dikenal sebagai kota militer. Selain keberadaan Akademi
Militer yang ada di selatan kota, keberadaan garnisun di
tepi utara kota yang dibangun sejak zaman Belanda menjadi alasan kuat gelar kota militer disematkan pada kota ini. Garnisun atau militaire encampment di Magelang sudah ada jauh sebelum Perang Jawa pecah, tepatnya pada tahun 1817. Gill berpendapat bahwa alasan garnisun ditempatkan di pinggir utara kota ialah adanya niatan pemerintah kolonial untuk melanjutkan pembangunan berdasarkan karakter bentuk kota Magelang (Gill, 1995; 220). Memang pada akhirnya Magelang sengaja dibesarkan oleh pemerintah kolonial sebagai garnisun militer utama Belanda di Jawa bersama Cimahi, Bandung, dan Malang. Besarnya tentara yang berkedudukan di Magelang membuat militer Belanda membentuk kesatuan polisi militer untuk mendisiplinkan mereka. Kesatuan itu bermarkas di sebuah gedung di ujung lapangan latihan (kini lapangan RINDAM).
Perumahan-perumahan tentara. Ukuran dan bentuk rumah tergantung pangkatnya. Sebagian besar masih dalam kondisi baik. ( sumber : media-kitlv.nl ) |
Perumahan tentara pada masa kini. |
Akomodasi yang baik dan sehat juga penting dalam ketentaraan. Pada masa awal militer Belanda bermarkas di Magelang, barak-barak tempat tinggal serdadu masih terbuat dari bambu yang notabene menjadi sarang tikus pembawa penyakit pes. Banyak tentara yang meninggal di barak karena terjangkit penyakit ketimbang mati di medan tempur. Oleh karena itu zeni militer mulai membenahi barak tentara di dalam kompleks garnisun pada akhir abad ke-19 (Anonim, 1936; 20). Di dalam garnisun itu, para serdadu menempati barak yang di dalamnya terdapat tempat tidur sesuai kompi pasukan yang dilengkapi kelambu dan mebel sederhana. Mengingat keterbatasan ruangan, maka anak-anak serdadu tinggal di bawah kolong tempat tidur (yang dari situlah lahir istilah anak kolong). Setiap tangsi diberi batas berupa pagar kawat dan terdapat penjagaan 24 jam untuk menjaga ketertiban. Di dalam tangsi, ada kantor, gudang senjata, barak tempat tinggal, dapur, istal, kantin, dan ruang olahraga. Serdadu mandi di sebuah ruangan besar dengan bak mandi panjang. Sementara di luar kompleks, terdapat lapangan tembak dan baris berbaris serta lapangan untuk apel prajurit (Rocher & Iwan Santosa, 2016; 208).
Berikutnya militer Belanda melalui Military Geneeskundige Dienst mendirikan sebuah rumah sakit militer
pada 1867 (https://historicalhospitals.com/hospitals-2/military-hospitals/garrison-hospital-magelang/). Rumah sakit ini dahulu dikenal memiliki peralatan kesehatan yang lengkap dan dokter
spesialis yang ahli di bidangnya.
Bekas sekolah Kweekschool voor Inlandsch Ambtenaaren (sumber : media-kitlv.nl). |
Selain
bangunan militer, Magelang juga memiliki banyak bangunan sekolah yang dapat
dijumpai di setiap penjuru kota, tanda bahwa pendidikan di Magelang sudah menjadi perhatian utama semenjak dulu kala. Pemerintah
kolonial memang berusaha menunjukan kepada penduduk koloni bahwa Hindia-Belanda
adalah tempat yang baik untuk membesarkan anak. Sekolah-sekolah bernuansa Eropa
dengan sistem pendidikan yang sama di Belanda dibuka. Total ada 39 sekolah dari
berbagai jenjang untuk setiap kelompok masyarakat yang dibuka. Sekolah-sekolah
itu ada yang milik pemerintah ada pula yang milik swasta. Pendidikan mula-mula
hanya menyasar untuk anak-anak keturunan Eropa, namun seiring waktu orang
pribumi juga mendapat jatah kursi di sekolah milik Belanda walau hanya dididik
sekedar untuk menjadi pamong pemerintah tanpa mengembangkan keilmuan mereka. Kompleks
sekolah terbesar di Magelang adalah sekolah Kweekschool voor Inlandsch
Ambtenaren yang kini menjadi kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Dibangun tahun 1899, sekolah di Jalan Yos Sudarso No.31 itu dibuka dengan
maksud mencetak tenaga guru dari kalangan bumiputera. Guru-guru ini nantinya
akan mengajar pada sekolah-sekolah kader pamong praja kolonial.
Societeit "De Eendracht" dan ruang bilyar di dalamnya. Gedung societeit hancur sewaktu perang kemerdekaan (sumber : media-kitlv.nl). |
Mengenai
hiburan, ada banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh orang Eropa untuk mencari
kegembiraan di waktu senggang. Buku Magelang
de Middlepunt van Den Tuin van Java menyebutkan beberapa sarana hiburan di
masa kolonial seperti Societeit “De Endracht” di dekat alun-alun, societeit militer, tiga buah kedai teh,
dan dua bioskop modern yang memutar 6 film per minggunya (Anonim, 1936; 56).
Sarana hiburan paling elit adalah Soceiteit
“ De Endracht”, dimana hanya orang kulit putih saja yang boleh masuk ke
sana. Di sana mereka dapat bermain bilyard, minum-minum, berdansa-dansi, atau
menonton pertunjukan musik tonil.
Stasiun Magelang Pasar di kanan gambar ( sumber : media-kitlv.nl ). |
Bekas rumah dinas pegawai Stasiun Magelang Kota. |
Bekas depo Stasiun Magelang Kota. |
Sebuah
bangunan tua tampak teronggok bisu di salah satu sudut sub terminal angkutan
kota Kebonpolo. Sebelum menjadi tempat pemberhentian angkutan kota, tempat itu
pernah menjadi satu dari dua stasiun kereta api di kota Magelang. Bangunan tua
tadi adalah bekas depo kereta stasiun ini. Jalur kereta mulai melewati Magelang
pada tahun 1898. Jalur itu menghubungkan Magelang dengan Yogyakarta dan pada
tahun 1905 dibuka jalur kereta ke arah Secang. Selain Stasiun Magelang Kota ada
pula Stasiun Magelang Pasar dan sebuah halte di tengah alun-alun Magelang. Ada alasan mengapa kota ini bisa memiliki dua stasiun. Saat itu, Nederlandsch Indsche Spoorweg Maatshappij perusahaan
kereta swasta masa kolonial, diminta pemerintah untuk membangun jalur kereta
melewati Magelang. Pertimbangannya, Magelang adalah kota militer terbesar di
Jawa Tengah. Nederlandsch Indsche
Spoorweg Maatshappij menyanggupi permintaan ini. Namun timbul tarik ulur
mengenai dimanakah stasiun kereta akan ditempatkan. Pemerintah kolonial meminta
untuk ditempatkan di utara kota, dekat dengan garnisun sehingga pergerakan
militer menjadi mudah. Namun insting bisnis Nederlandsch
Indsche Spoorweg Maatshappij, melihat bahwa stasiun itu akan jauh lebih
menguntungkan jika ditempatkan di dekat Pasar Rejowinangun, urat perdagangan
kota Magelang. Maka jadilah kota ini memiliki dua buah stasiun. Kejayaan kereta
di Magelang telah lama berlalu, kira-kira pada tahun 1970an, yakni saat moda
angkutan kereta mulai dikalahkan oleh angkutan lain.
Bekas pabrik cerutu milik Ko Kwat Ie. |
Dari
sektor industri, terdapat beberapa industri seperti es, tegel, dan cerutu. Di
antara industri tersebut, industri paling menonjol di Magelang adalah cerutu mengingat wilayah sekitar
Magelang merupakan penghasil tembakau utama. Kira-kira ada delapan industri
rokok yang pernah berjaya di Magelang. Tujuh di antaranya dipegang oleh orang
Tionghoa dan yang paling mahsyur adalah “Ko Kwat Ie & Zonen
Sigarenfabriek” yang dirintis oleh Ko Kwat Ie. Pabrik tersebut awalnya
dibuka di Batavia pada tahun 1900 dengan modal awal sebesar 200 gulden dan baru
memiliki dua belas karyawan. Dari Batavia, Ko Kwat Ie memindahkan pabrik
cerutunya ke Magelang pada tahun 1908 supaya lebih mudah mendapatkan tembakau untuk bahan baku. Sebenarnya saat
pabrik cerutu Ko Kwat Ie didirikan di Magelang, sudah ada industri pengolahan
tembakau di sana namun masih sebatas industri rumahan dan pemasarannya hanya
mencakup wilayah setempat. Pabrik cerutu Ko Kwat Ie yang pertama di Magelang terletak
di kawasan Pecinan. Pabrik itu menghasilkan cerutu dengan nama dagang Panama Steer,
Deli Havana, Missigit Deli, Carnaval, dan Armada menyasar pangsa pasar orang
Eropa dan priyayi pribumi. Pecahnya Perang Dunia I membuat permintaan cerutu
dari Eropa meningkat pesat. Ko Kwat Ie memanfaatkan momentum tersebut untuk menembus
pasar di Eropa, Afrika, Australia, hingga Asia. Sementara pasar di
dalam negeri diperluas dari Sabang hingga Merauke. Selama
bertahun-tahun, perusahaan cerutu Ko Kwat Ie tumbuh dengan mantap. Pada tahun
1920, Ko Kwat Ie mendatangkan mesin produksi baru dan pabrik yang lebih besar di lokasi sekarang (Jalan Tarumanegara) yang tidak jauh
dari rumah Ko Kwat Ie. Pabrik tersebut produksi harian rata-rata
mencapai tiga ratus ribu cerutu dan mempekerjakan lebih dari 1.600 pekerja,
laki-laki dan perempuan, yang sebagian besar berasal dari Magelang dan
sekitarnya (De Locomotief, 15 Mei 1928). Pesatnya industri cerutu Ko Kwat Ie menarik
perhatian sejumlah pembesar negeri. Jika Gubernur Jenderal sedang melawat ke
Magelang, mereka akan menyempatkan berkunjung ke pabrik cerutu Ko Kwat Ie. Supaya
menghasilkan cerutu berkualitas tinggi, pabrik tersebut senantiasa dijaga
kebersihanya. Menukil dari buku “Tabakscultuur en Tabaksproducten”, pabrik cerutu
Ko Kwat Ie merupakan saingan berat pabrik cerutu Mac Gillvary yang dijalankan
oleh orang Eropa (Vlemming, 1925: 190). Saat ini, bekas pabrik cerutu Ko Kwat
Ie digunakan sebagai sekolahan.
Rumah Sakit Jiwa Kramat. |
Rumah dinas RSJ Kramat. |
Kala
pinggiran kota Magelang masih lapang, beberapa prasarana umum yang memerlukan
lahan luas dibangun di sana. Salah satunya adalah Rumah Sakit Jiwa Dr. Soerojo atau dulu dikenal dengan nama Krankzinnigengesticht Kramat. Tanah
sekitar saat itu masih kosong dan belum banyak penduduk sehingga masih
memungkinkan untuk dilakukan perluasan dan lingkungannya yang jauh dari keramaian
kota sangat membantu dalam pemulihan kesehatan jiwa. Rencana pembangunan RSJ
tersebut oleh pemerintah kolonial sebenarnya sudah tercetus sejak tahun 1916. Semula pemerintah hanya berniat untuk membuat rumah singgah untuk pasien gangguan jiwa di
Magelang sebelum dibawa ke RSJ utama di Buitenzorg dan Lawang. Namun dengan
kondisi RSJ di Buitenzorg dan Lawang sudah hampir penuhserta di Jawa Tengah
sendiri belum ada fasilitas sejenis, maka diputuskanlah untuk membangun RSJ besar
yang berlokasi di Magelang. Pemerintah telah menganggarkan dana awal sebesar
700.000 gulden untuk pembangunan RSJ Kramat dan juga menunjuk arsitek Beraud
sebagai perancangnya (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27
Desember 1916). Sebagai permulaan, tanah yang akan menjadi cikal RSJ mulai diratakan
pada tahun 1917. Pembangunan RSJ sendiri sedianya ditargetkan tuntas pada tahun
1918. Namun entah suatu hal yang belum diketahui, pembangunan rumah sakit sama sekali belum dimulai pada tahun itu. Barulah pada tahun 1919 tahap pertama pembangunan RSJ
mulai dikerjakan. Tahap tersebut meliputi pembangunan 24 paviliun, dapur, binatu,
penataan lanskap, dan pemasangan saluran listrik. Ketika paviliun selesai dibangun,
kompleks RSJ Kramat ternyata belum dapat beroperasi karena belum adanya
fasilitas rumah tinggal pegawai. Fasilitas tersebut baru dibangun pada tahap
kedua pembangunan pada setelah 1920 dan termasuk di antaranya adalah bangunan
depan RSJ. Pada bulan September 1923, RSJ Kramat mulai menerima sebagian kecil pasien
dari Klinik Jiwa Porong dan RSJ Buitenzorg. Kemudian disusul dengan pasien RSJ
dari Solo sebanyak 700 pasien. RSJ Kramat akhirnya diresmikan pada 20 Oktober
1923 dan daya tampung awalnya mencapai 1000 pasien (De Indische Courant 1 Oktober 1923).
Kompleks RSJ Kramat selanjutnya ditambahkan bangsal baru pada tahun 1925 sehingga
pasien ada tambahan ruang untuk 300 pasien. Secara keseluruhan, pembangunan RSJ
Kramat memakan total biaya sebesar 1.233.922 gulden.
Rumah residen Kedu. |
Saat
kota Magelang tumbuh menjadi pusat pemerintahan kolonial, baik bangunan milik
orang Eropa ataupun orang Tionghoa banyak yang masih terbuat dari bambu. Hanya
sedikit saja bangunan yang menggunakan batu, yakni rumah residen, rumah
kontrolir dan rumah perwira. Pada masa awal kolonial di Magelang, rumah
terindah adalah rumah residen Kedu yang kini menjadi Kantor Bakorwil Kedu.
Sebagai hoofdnegorij atau ibukota
pemerintahan kolonial di Kedu, keberadaan rumah residen adalah hal mutlak. Tahun 1819, rumah ini didirkan dengan rancangan dari kolonel J.C. Schultze dan biaya sebesar 10.000 gulden digelontorkan untuk pembangunannya (Anonim, 1936; 20). Rumah ini menjadi tersohor dalam
sejarah nasional setelah Belanda menjadikan rumah ini sebagai tempat
melaksanakan tipu daya untuk menjebak Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Jawa usai,
rumah ini beberapa kali berubah bentuk. Semburat Gunung Sumbing terlihat elok dari beranda
belakang gedung ini, tempat residen menjamu tamu. Di belakang rumah ini, ada
sebuah taman indah yang dilengkapi gazebo, rusa-rusa jinak, dan pajangan
patung-patung kuno yang diambil di sekitar Magelang. Beberapa langkah ke utara dari bekas
rumah residen, terdapat kantor residen kedu. Di sinilah roda adminstrasi
pemerintahan Karesidenan Kedu dijalankan. Dalam birokrasi pemerintah kolonial,
pangkat residen adalah yang paling tinggi di tingkat karesidenan, di bawahnya
ada asisstent residen yang ditempatkan di daerah dan di bawahnya lagi ada
controleur. Tidak seperti para pendahulunya, pegawai VOC yang dikenal melakukan
korupsi secara menggila, aparat pemerintah kolonial abad ke-19 lebih bersih dan
efisien. Hal ini merupakan buah dari reformasi birokrasi yang dijalankan oleh
Daendels. Pertengahan abad ke-19, reformasi birokrasi disempurnakan dengan
peningkatan upah, pendidikan, serta pembagian tugas yang tegas dan jelas. Para
pegawai ini bukan lagi para petualang yang hendak mencari keuntungan, melainkan
para pegawai terdidik berintegritas tinggi. Sayangnya reformasi birokrasi pada
tubuh pemerintah kolonial tidak sampai menyentuh ranah pemerintah lokal dimana urusan
administrasi dengan kepentingan pribadi masih berkelindan dan berlanjut hingga
hari ini.
Kantor residen Kedu yang kini menjadi Museum BPK. |
Sebagaimana pembagian tata permukiman di Jawa pada abad ke-19, kawasan permukiman di kota Magelang dibagi tiga jenis. Pertama adalah permukiman orang Eropa dan elite pribumi berupa kompleks rumah tembok berhalaman luas. Kedua adalah kawasan pecinan yang berupa dereta rapat rumah toko. Ketiga adalah permukiman golongan pribumi berupa rumah kampung beratap ijuk dan berdinding bambu. Mulanya orang Eropa biasanya akan kembali ke negeri asalnya setelah masa bekerjanya di sini sudah habis. Namun pada akhirnya, mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di sini sepanjang hidupnya. Dari situlah muncul rumah-rumah gaya Indis, sebuah gaya yang memadukan unsur Eropa dengan lokal. Gaya inipun rupanya ditiru pula oleh orang Tionghoa kaya. Magelang, seperti halnya kota-kota di pedalaman yang fungsi perdagangan kurang menonjol, bentuk kotanya kabupaten tidak teralu berbeda dengan lingkungan pedesaan dimana setiap rumah memiliki halaman depan yang sangat luas. Dengan iklim yang boleh dikatakan sejuk dan sarana yang lengkap, banyak warga Eropa yang betah tinggal di sini. Tersimpan harapan di hati ereka agar masih dapat tinggal tenang di sini dalam waktu yang lebih lama. Namun apa daya, harapan mereka pupus, sirna ditelan kenyataan setelah Hindia-Belanda ditaklukan Jepang pada 1942 dan mereka terusir dari Magelang. Walau orang Belanda telah lama pergi, cukup banyak rumah kuno peninggalan mereka yang masih dapat disaksikan.
Aneka rupa rumah Indis Empire di Magelang. |
Rumah-rumah kuno yang dibangun sekitar tahun 1890-1910an. |
Referensi
Anonim, 1936. Magelang, Middlepunt van den Tuin van Java. Magelang
; Bestuur der Stadsgementee Magelang.
Gill, Ronald G. 1995. De Indische Stad op Java en Madoera.
Delft ; Publikatieburo, Faculteit der Bouwkunde, Techinse Universiteit Delft.
Nessel van Lissa, R.C.A.F.J. "Uit Het Verleden van Magelang" dalam De Locomotief 31 Januari 1936.
Soesilo. 1937. "Inhemeesche Missigitgebouw" dalam Locale
Techniek No.6 November-Desember 1937.
Van Nes, C. 1937. "Van overvloedigen Arbeid en Nog Overvloediger Zegen" dalam Gedenkboek Zending Der Gereformeerdekerken van Zeeland, Noord Brabant en Limburg in Magelang en Temanggoeng. hlmn. 32-48
Vlemming, J.L. 1925. Tabakscultuur en Tabaksproducten. Weltevreden : Landsdrukkerij.
De Locomotief, 15 Mei 1928
https://historicalhospitals.com/hospitals-2/military-hospitals/garrison-hospital-magelang/
https://historicalhospitals.com/specialized-hospitals/psychiatry/psychiatry-hospital-magelang/
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/04/gereja-st-ignatius/
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/saluran-air-kali-manggis/
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2013/01/30/sejarah-perkeretaapian-di-magelang-temanggung/
bagus sekali artikel dan foto-fotonya. Pemerintah Kota Magelang dan para pemilik bangunan harusnya mampu melestarikan semua itu. Perhatian terhadap bangunan bersejarah harus mulai digalakkan dari sekarang. Jangan sampai seperti Semarang, yang sdh banyak yang terbengkalai.
BalasHapussedikit koreksi untuk penulis, jalan raya Magelang Salaman sudah ada sejak sebelum Perang Diponegoro. Dalam PETA Karesidenan Kedu th 1822, jalan Raya Magelang Salaman ( Menoreh )- Purworejo lewat Menoreh, Pegunung Menoreh -Cababan -Numbak Anyar- Loano- Purworejo sudah ada. Baru pada tahun 1848-1850 Pembangunan jalan Salaman- Purworejo, mengantikan jalan lama yang melewati Pegunungan Menoreh sisi selatan.
BalasHapusMagelang kota Panca Sila...yg dirindukan umat manusia seluruh dunia...
BalasHapusWah artikel yang sangat bagus dan menambah ilmu. Terima kasih banyak.
BalasHapusTerimakasih akan banyaknya foto tua kota saya Magelang tercinta. Saya masih penasaran dengan susahnya mencari foto stasiun magelang pasar dari arah depan. Sekarang kawasan stasiun magelang pasar sudah tidak menampilkan wajah aslinya. Bangunan terakhir stasiun Magelang Pasar ditempati Rumah Makan Padang "Surya" yang sempat saya lihat sampai tahun 80an. Setelah itu saya beberapa bulan tidak ke Magelang kota, dan bangunan stasiun itu sudah menjadi ruko berwarna biru. Adakah yang punya fotonya?
BalasHapusSaya tambahkan, Stasiun Magelang Pasar dahulu saat saya masih sempat melihat diapit oleh dua buah bangunan guydang stasiun di utara dan selatan stasiun. Bangunan Stasiun Magelang Kota(Pasar) seperti Stasiun Mertoyudan yang sekarang masih nampak. Bangunannya lebih besar dan panjang. Cat terakhir yang saya tahu warna krem atau cokleat susu. Saya waktu itu tidak sempat membuat foto bangunan tersebut. sangkaan saya stasiun itu masih akan hidup lama, ternyata ada yang tidak menganggap penting bangunan bersejarah itu. Sekaranng saya hanya bisa mengingat-ingat saja. Usia saya mendekati 60 tahun saat ini.
BalasHapusMungkin sedikit menjawab keresahan, bahwa di grup Facebook KOTA TOEA MAGELANG pernah memuat bangunan stasiun Kotta Magelang (Bonpolo) dari tampak depan. Semoga bermanfaat.
Hapus"terdapat gereja tua berlanggam Neogotik yang dahulu digunakan sebagai Indische Kerk"
BalasHapusMohon sebutkan sumbernya bahwa gereja tersebut sebegitu tuanya sampai pernah dipakai sebagai Indishche Kerk. Proses pendirian GPIB Magelang penuh dengan perjuangan. Banyak sumber yg bisa didapat utk membuktikan itu. Dewan Gereja mengajukan proposal beberapa kali dan ditolak pemerintah. Dewan akhirnya mengajukan ijin pelaksanaan lotere ke pemerintah pusat, guna menggalang dana dan diijinkan. Hingga akhir tahun 1890an, gereja tersebut belum ada. Baru awal 1900an didirikan.
Terima kasih untuk sejarah nya dan foto foto uniknya! Saya Rebecca, saya mencari info mengenai " dipo nDjuritan Magelang" Bpk mungkin bisa membantu saya. Thank you
BalasHapus