Minggu, 12 November 2023

Masa Silam yang Nyaris Tenggelam di Candibaru

Nama Candibaru memang tidak asing di telinga warga Semarang karena boleh jadi mereka setiap hari mereka melintas kawasan tersebut atau bahkan tinggal dan bekerja di sana. Namun boleh jadi masih belum banyak yang tahu bahwa kawasan tersebut adalah suatu kawasan bersejarah. Candibaru memang tampak tidak sekuno Kota Lama Semarang karena kawasan tersebut baru muncul belakangan pada awal abad ke-20. Namun demikian bukan berarti Candibaru adalah kawasan tanpa sejarah karena terselip kisah panjang untuk membuka kawasan tersebut. Bagaimanakah kisah munculnya Candibaru dan apa saja jejak yang masih tersisa akan Jejak Kolonial kupas pada tulisan kali ini.
Sebaran bangunan lama di Candibaru. Keterangan : A : RS. Dr Kariadi, B : GKI Gereformeerde Kerk, C : AKK Ibu Kartini, D : Puri Wedari, E : RS Elizabeth, F : Reservoir Siranda, G : Ereveld Candi.

Sejak zaman dahulu, Semarang merupakan kota bandar dengan perniagaan yang bergeliat. Hal tersebut tidak lepas dair posisi Semarang sebagai pintu gerbang menuju kerajaan-kerajaan di pedalaman Pulau Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta. Meski perekenomiannya relatif berkembang, namun di bidang kesehatan Semarang memiliki reputasi yang buruk. Wabah malaria, kolera, dan tifus terus menerus datang merenggut banyak korban jiwa. Masalah tersebut mencuat ke permukaan setelah diangkat ke publik oleh seorang dokter bernama W. de Vogel. Sebagai dokter, ia merasa sudah sepantasnya bertanggung jawab dalam memperbaiki masalah kesehatan di kota ia bertugas. Dokter W. Vogel kemudian mengumpulkan data angka kematian penduduk Semarang saat dilanda wabah kolera pada tahun 1901-1902. 
Tampak udara kawasan Candibaru (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Bersumber dari data tersebut, Vogel mendapati bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dan akhirnya ia menemukan jika angka kematian di Semarang tetap tinggi sekalipun wabah kolera tidak merebak. Data yang dihimpunnya menunjukan bahwa banyak penduduk meninggal akibat terjangkit disentri, tifus, dan terutama malaria yang paling menelan banyak korban. Dunia kesehatan saat itu, baru mengetahui jika penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk anopheles yang bersarang dengan nyaman di genangan rawa yang tersebar di Semarang. Oleh karena itu, Vogel menyarankan supaya penduduk Semarang tinggal menjauhi rawa. Hal ini menimbulkan persoalan lain karena ruang-ruang kota Semarang bagian bawah kebanyakan adalah genangan rawa. Sementara itu pada saat yang sama jumlah penduduk Semarang terus bertambah. Satu-satunya ruang kota yang dapat dipilih adalah hamparan perbukitan di selatan kota yang tandus, jarang penduduk, dan tidak cocok untuk pertanian. Tempat tersebut dikenal masyarakat sebagai Candi (Stadsgemeente, 1939: 17).
Tiga tokoh penting yang mengawali pembukaan kawasan Candibaru.
Upaya membuka perbukitan Candi mulai menemukan jalannya sesudah dibentuknya Gemeenteraad atau Dewan Kotapraja Semarang pada tahun 1906. Selain sebagai upaya untuk menjauhkan dari sumber penyakit, pemekaran Candibaru juga menjadi solusi untuk memecahkan persoalan ketersediaan perumahan di Semarang. Masalah tersebut sudah diramalkan oleh anggota dewan seperti Vogel, Tillema, dan R.M. Soenario. Mereka menyadari bahwa sudah waktunya Semarang untuk mempersiapkan diri menghadapi masalah perumahan sebagai dampak dari penambahan penduduk dengan melakukan pengembangan wilayah Candi. Jauh hari sebelum daerah Candi dibuka, orang-orang Belanda sudah menetap di sana sekitar tahun 1886. Mereka kebanyakan tinggal di dekat jalan menuju Ungaran. Kawasan tersebut sering disebut dengan Candilama untuk membedakan dengan Candibaru. Sekalipun orang-orang Belanda mulai menetap di Candilama, namun kawasan tersebut belum berhasil tumbuh menjadi permukiman karena sulitnya memperoleh pasokan air di sana (Stadsgemeente, 1939 : 17-21).
Rencana pengembangan Candibaru yang dirancang oleh Karsten dan Plate
(Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917).

Peta Candibaru tahun 1917. Keterangan warna : Merah muda : perumahan orang Eropa, hijau : perkampungan penduduk pribumi, merah : bagian jalan yang belum dikerjakan.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi, 1939)
Alih-alih menjadi permukiman orang hidup, kawasan perbukitan Candi justru berkembang menjadi rumah kuburan warga Tionghoa Semarang. Hal ini lantas menimbulkan pergulatan kepentingan saat proses pembebasan kawasan Candi. Gemeentraad yang bermaksud membuka kawasan tersebut berdalih bahwa kepentingan permukiman sehat untuk manusia yang masih hidup perlu didahulukan dan sia-sisa rasanya jika perbukitan Candi yang berpotensi untuk dikembangkan hanya berakhir menjadi kuburan saja. Sementara warga Tionghoa Semarang jelas tidak rela melihat tempat yang selama ini menjadi rumah peristirahatan terakhir leluhur mereka digusur begitu saja. Perselisihan tersebut kemudian diuraikan lewat pembentukan suatu komisi yang terdiri dari Stemmetz, Vogel, van Sijk, Kapitan Tan Siauw Lip, dan Tan Ing Tjiang. Akhirnya dibuatlah kesepakatan bahwa kegiatan penguburan di Candibaru hanya dibatasi untuk anggota keluarga yang makam leluhurnya sudah ada di sana. Sebagai gantinya, disediakanlah tanah kuburan baru untuk penduduk Tionghoa di Kedungmundu (Liem Thian Joe, 2004 : 224-225). Dalam foto-foto lama, masih terlihat bila permukiman Candibaru masih berdampingan dengan kuburan-kuburan Tionghoa.
Pemandangan rumah-rumah orang Eropa yang dibangun di atas perbukitan. Tampak bangunan yang saat ini menjadi Hotel Candibaru (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Pemandangan villa orang Eropa di atas perbukitan dan perkampungan Lempongsari yang ada di lereng di bawahnya (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Pemandangan Semarang bagian bawah dilihat dari perbukitan Candibaru. Tampak bangunan CBZ Semarang yang baru selesai dibangun (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Sejumlah manuver kemudian dilakukan sebagai persiapan pembukaan kawasan. Pertama dengan mendekati pemerintah di Batavia. Pada 6 Juli 1908, pemerintah bersedia melepas kepemilikan kepemilikan tanah pemerintah di Genuk, Gajahmungkur dan Bendungan kepada pemerintah Kotamadya dengan harga setengah sen per meter persegi. Sementara tanah lain yang menjadi milik perseorangan lekas dibeli oleh salah satu anggota dewan kota, H.F. Tillema, dengan atas nama dirinya dengan tujuan mencegah aksi spekulan tanah yang dapat membuyarkan rencana pembukaan Candibaru. Manuver lainnya juga dilakukan oleh anggota dewan kotamadya lain bernama R.M. Soenario juga turut terlibat dalam pembukaan kawasan Candibaru karena sebagai aristokrat pribumi, ia lebih mudah membujuk penduduk desa Gajahmungkur agar mereka bersedia dipindahkan. Penduduk desa akhirnya kemudian dipindahkan ke Kalilangse yang tidak jauh dari Candibaru (Soerabaiasch Handelsblad 18 November 1939). Tanah-tanah yang sudah dibeli oleh Tillema kemudian dialihkan hak miliknya ke kotamadya dengan mengganti biaya yang dikeluarkan oleh Tillema. Tanggapan pers Hindia-Belanda bermacam-macam ketika mendengar rencana pemerintah kotamadya Semarang hendak menyulap perbukitan tandus menjadi suatu daerah hunian yang nyaman dengan pemandangan nan elok. Pers lokal Semarang seperti surat kabar De Locomotief jelas menyambut baik rencana tersebut. Sementara tulisan dengan nada menghina datang dari pers luar Semarang, terutama dari Surabaya. Namun berkat pengaruh beberapa tokoh penting di Dewan Kotamadya, maka pembukaan kawasan Candibaru tetap berlanjut.
Pembangunan Nieuwe Tjandiweg pada tahun 1914. Terlihat rel untuk gerobak yang membawa material jalan.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Jalan Nieuwe Tjandiweg sesaat setelah selesai dibangun.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Pembuatan jalan Oei Tiong Bingweg pada tahun 1914.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Proses pembangunan Oei Tiong Hamweg pada tahun 1914. Tampak pameran Koloniale Tentoonstelling di latar belakang.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Perbukitan Candibaru mulanya adalah tempat yang terpencil. Satu-satunya jalan menuju ke sana adalah dengan menyusuri Groot Toerweg (kini Jalan Kyai Saleh) dan kemudian mengambil sepenggal jalan kecil di seberang rumah Oei Tiong Ham. Setelah rencana pemekaran Candibaru dipastikan akan berjalan, maka penggal demi penggal jalan baru dibuat untuk menembus Candibaru. Kehadiran jalan baru tersebut juga akan menjadi jalan alternatif selain jalan lama di Tanahputih yang menanjak dan sulit dilewati kendaraan saat itu. Jalan baru akhirnya dibuat dari Kintelan, menanjak melewati Gunung Sawo, berkelok mengikuti kontur medan, dan selanjutnya lurus ke selatan hingga bertemu jalan lama di Karangpanas. Pembangunan jalan tersebut dibantu menggunakan angkutan kereta kecil karena kendaraan truk saat itu belum mampu sampai ke sana. Jalan tembus bernama Nieuwe Tjandiweg tersebut dibuka untuk umum pada tahun 1914, bersamaan dengan momen digelarnya Koloniale Tentoostelling. Hal tersebut bertujuan agar pengunjung pameran dapat mengagumi keindahan pemandangan kota Semarang dari atas perbukitan dan diharapkan mereka akan tertarik untuk menetap di Candibaru. Pada saat yang sama pula, dibuat jalan penghubung Candibaru dengan area Koloniale Tentoostelling. Jalan tersebut dikenal sebagai Oei Tiong Ham Weg atau kini dikenal sebagai Jalan Pahlawan (Stadsgemeente, 1939 : 39-40).

Pemandangan jalan Nieuwe Tjandiweg (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Meski berstatus sebagai pencetus proyek, namun Vogel bukanlah seorang arsitek. Maka dari itu tugas teknis penataan kawasan diserahkan kepada De Bazel. Rancangan penataan kawasan yang disiapkan Bazel tidak jadi digunakan pasalnya dia menggunakan peta yang gambar konturnya tidak sesuai dengan keadaan. Akhirnya insinyur A. Plate diberi mandat untuk membuat perancangan teknis dan rancangan tersebut disempurnakan oleh Karsten pada tahun 1916 dan disetujui dewan kota setahun setelahnya. Rancangan itulah yang digunakan dan menjadi wajah dari kawasan Candibaru yang dikenal sekarang. Untuk mempercepat akses antara Candibaru dengan Semarang bagian bawah, maka dibukalah Sirandaweg atau Jalan Siranda pada tahun 1925. Pembangunan-pembangunan jalan di Candibaru diikuti dengan penyediaan sarana angkutan umum murah berupa bus. Angkutan umum tersebut umumnya digunakan untuk anak-anak sekolah atau pembantu pribumi yang turun ke Semarang bawah untuk mencari bahan makanan di pasar atau mengantar bekal majikannya (Stadsgemeente, 1939 : 39-40). 

Pemandangan Oei Tiong Hamweg setelah dibangun. Terlihat kondisi jalan yang masih sepi dan perbukitan Candi yang saat itu gersang (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Jalan tembus lain menuju Candibaru adalah Dr. Vogelweg. Jalan tersebut dibuat karena jalan Nieuwe Tjandiweg dirasa terlalu banyak tikungan dan lebih panjang sehingga waktu tempuh perjalanan menjadi lama. Dr. Vogelweg dibuat dari pertigaan Jalan Rinjani dan Jalan S.Parman sekarang, hingga pertigaan dekat SPBU Gajahmungkur. Dengan dibukanya Dr. Vogelweg, maka perjalanan Candibaru ke Semarang bawah dapat dipersingkat. Nieuwe Tjandiweg kemudian terhubung ke Jalan Bojong dengan dibukanya Koningin Emmalaan (kini Jalan DR. Sutomo) pada tahun 1918. Koningin Emmalaan nyaris tidak jadi dibangun karena keberadaan jalan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu ketenangan pasien Rumah Sakit Julianna. Pada akhirnya Koningin Emmalaan tetap dibangun karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Sedianya, akan dibuat pula jalan tembus ketiga, yaitu melalui Nogosariweg (kini Jalan Kawi Raya) yang kemudian diperpanjang ke timur menuju Jomblang. Namun jalan tembus tersebut tidak jadi dibuat (Stadsgemeente, 1939 : 39-40). 

Kondisi Reservoir Siranda pada tahun 1930an. (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Reservoir Siranda pada masa sekarang.

Letak Candibaru yang berada di perbukitan menjadikan kawasan tersebut dalam sumber-sumber lama disebut dengan Heuvelterrein atau Tanah Berbukit. Kondisi geografis tersebut akhirnya membuat perbukitan tidak menguntungkan untuk dihuni karena kawasan tersebut miskin sumber air yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Berangkat dari situasi tersebut, maka infrastruktur dasar yang dipersiapkan terlebih dahulu adalah air mengingat suatu kawasan permukiman tidak akan pernah berkembang tanpa adanya air. Sumber airnya didatangkan jauh dari mata air Mudal di lereng Gunung Ungaran yang potensinya sudah diketahui sejak tahun 1897. Merebaknya wabah kolera di Semarang pada tahun 1910 menjadi momentum untuk memperbaiki prasarana air bersih di Semarang. Pemerintah Kota Semarang kemudian diberi pinjaman yang cukup besar dari pemerintah pusat untuk mengerjakan jaringan air keran yang dilaksanakan pada tahun 1911. Secara bertahap, reservoir-reservoir dibuat dan jaringan air keran kota Semarang diresmikan pada 21 Maret 1914 (De Expres 23 Maret 1914). Selain air, listrik yang mulai menjadi kebutuhan dasar manusia modern juga mulai dipasang di Candibaru. Listrik tersebut dipasok dari pembangkit listrik yang berada di Tuntang, Salatiga. Dengan demikian perbukitan Candi siap untuk ditempati dan lahirlah Novo Semawis, Nieuwe Semarang, atau Semarang Baru.


Rumah-rumah di Candibaru yang mulai terbangun pada masing-masing kavling
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).


Rumah-rumah di Candibaru. (sumber : data.collectienederland.nl/)

Sesudah infrastruktur dasar tersedia dan jalan penghubung siap dilewati, maka satu persatu jengkal tanah mulai siap dibangunkan rumah tinggal. Kapling tanah yang ada di Candibaru statusnya dikuasai oleh pemerintah kota Semarang dan disewakan kepada setiap orang. Di atas tanah sewa tersebut, didirikan bangunan rumah dengan biaya mandiri. Hal tersebut bertujuan supaya pemerintah kotapraja tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun seluruh rumah. Selain itu jika pemerintah kotapraja melepas tanah-tanah di Candibaru menjadi hak milik, maka harga tanah menjadi tidak terkendali dan akhirnya hanya orang kaya yang dapat membeli tanah di sana. Sementara orang-orang kurang beruntung tidak mendapat kesempatan untuk tinggal di daerah yang lingkungannya sehat seperti Candibaru. Berbeda dengan masa sekarang dimana kebanyakan pembangunan kawasan perumahan diarahkan untuk investasi, tujuan awal proyek pembukaan Candibaru memang dimaksudkan untuk tujuan sosial, yakni untuk menyediakan tempat tinggal di lingkungan yang sehat untuk setiap orang. Hal ini membuat Candibaru awalnya belum dilirik banyak orang karena mereka masih harus mendirikan rumah dengan biaya sendiri di atas tanah yang tidak dapat dijadikan sebagai aset investasi yang berharga. Untuk menarik calon penghuni, pemerintah kota akhirnya memberi iming-iming harga sewa yang lebih murah dari biasanya. Selain dibangun mandiri, beberapa rumah di Candibaru ada juga yang dibangun oleh pemerintah kotaparja atau asosiasi perumahan (Gemeente Semarang, 1931 : 155-157).

Rumah tinggal walikota Semarang pada tahun 1930an. Terlihat atap asli bangunan yang lebih tinggi dan curam dibanding atap bangunan sekarang (Sumber : data.collectienederland.nl).

Perlahan Candibaru menjadi populer sebagai lokasi perumahan karena kondisi lingkungannya lebih baik dibanding Semarang bawah apalagi Candibaru memiliki pemandangan yang indah. Candibaru memiliki sejumlah aturan yang harus ditaati saat membangun rumah agar rumah yang dibangun betul-betul rumah yang layak dari segi kesehatan. Meskipun demikian para penghuni rumah merasa tidak terkekang dengan aturan tersebut karena hal ini demi mewujudkan Candibaru sebagai permukiman sehat nan estetik. Selanjutnya para penghuni Candibaru berlomba-lomba mendirikan rumahnya seindah mungkin. Kecil tidak menjadi masalah selama masih sedap dipandang mata. Rumah-rumah dalam aneka bentuk dan ukuran akhirnya mengisi jengkal demi jengkal Candibaru. Beberapa di antara rumah-rumah tersebut dirancang oleh arsitek ternama seperti Burgemeesterwoning atau rumah dinas walikota Semarang yang dirancang oleh arsitek Thomas Karsten (Algemeene Handelsblad, 4 Januari 1930). Jabatan walikota Semarang baru ada pada tahun 1916, sepuluh tahun sesudah pemerintah Gemeente terbentuk. Bangunan rumah dinas walikota Semarang selesai pada tahun 1930 dan saat ini menjadi Puri Wedari. 


Eks villa keluarga Thio

Rumah keluarga Han Tiauw Tjong rancangan Liem Bwan Tjie.
Bangunan Villa Helly milik keluarga Liem. Bangunan ini sekarang menjadi Puri Gedeh.
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kawasan Candibaru dibuat tidak hanya untuk orang Eropa saja karena sejatinya setiap orang dapat mendirikan kediaman di sana sepanjang memiliki kemampuan finansial. Hal ini disambut dengan antusiasi terutama oleh beberapa hartawan Tionghoa yang selama ini terbentur dengan aturan Wijkenstelsel yang memaksa mereka hanya dapat membangun rumah tinggal di dalam lingkungan Pecinan. Dihapusnya atruan Wijkenstelsel menjadi momen untuk mendirikan villa di Candibaru. Villa tersebut dirancang oleh arsitek-arsitek kenamaan pada masa itu. Misalnya adalah villa milik Thio Sing Liong yang diracang oleh Thomas Karsten pada tahun 1922. Kemudian villa milik Liem yang bangunannya merupakan rancangan dari arsitek C.P. Wolff Schoemaker. Selain arsitek Eropa, ada juga arsitek Tionghoa yang merancang villa di sana. Misalnya adalah Liem Bwan Tjie yang merancang villa untuk temannya yang juga anggota Volksraad, Han Tiauw Tjong pada tahun 1932. Villa-villa dibangun hampir sepenuhnya dalam gaya arsitektur modern. 

Gambar sketsa rencana taman Raadsplein. Lokasinya saat ini menjadi Taman Diponegoro (Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917).

Gambar sketsa rencana taman Lotosvyver. Taman ini tidak jadi dibangun.
(Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917)
Kondisi Raadsplein sesaat setelah dibuat. Tampak cerobong dari Pusat Penelitian Gula Semarang.
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Di hadapan Burgermeesterwoning, terbentang sebuah taman terbuka yang disebut Raadsplein atau kini dikenal sebagai Taman Diponegoro. Perbukitan atas Semarang yang semula adalah kawasan tandus tak berpenghuni disulap menjadi stadstuin atau kota taman. Julukan kota taman memang pantas disematkan karena sejumlah ruang terbuka hijau turut menyertai dalam perencanaanya. Pada saat itu, pengembangan kota di Hindia-Belanda dibuat dengan konsep kota taman seperti Menteng. Letak Candibaru yang berada di medan perbukitan yang tidak rata membuat perancang taman harus pandai merancangnya. Akan tetapi kekurangan ini justru menjadi kelebihan tersendiri yang dimiliki Candibaru. Sebelum Candibaru memiliki bangunan sebanyak masa sekarang, keindahan Gunung Ungaran akan tersaji jelas saat cuaca cerah dan saat menoleh ke utara akan tampak pemandangan pesisir Semarang. Keindahan inilah yang menjadi nilai tambah Candibaru di antara kota taman lain di Hindia-Belanda (Indische Genootschap, 1917 , 25-26).

Gambar sketsa rencana taman De Vogelplein. Lokasinya saat ini menjadi Taman Gajahmungkur (Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917).

Pengunjung dari arah Semarang bawah disambut oleh taman lainnya bernama De Vogelplein yang saat ini menjadi Taman Gajahmungkur. Penamaan taman tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap sosok Dokter Vogel yang telah berjasa membuka Candibaru. Dahulu terdapat monumen Dr. Vogel di tengah taman namun monumen tersebut sudah tidak tampak lagi saat ini. Selain kedua taman tersebut, sedianya juga akan dibuat sebuah taman kolam teratai. Kolam tersebut dimaksudkan sebagai tempat menampung limpasan air hujan sehingga posisinya berada di cekungan lembah. Rencana tinggal rencana saja. Kolam teratai tersebut dan beberapa bagian lain dari kawasan Candibaru tidak pernah jadi dibangun.

Deretan rumah-rumah penduduk Pribumi yang disediakan oleh Gemeente Semarang di Kintelan, Candibaru (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Kawasan Candibaru rupanya tidak hanya diperuntukan untuk golongan elite semata. Sebagian dari Kawasan Candibaru yang berada di lereng bukit sengaja diproyeksikan sebagai perkampungan untuk golongan pribumi berpenghasilan rendah. Perkampungan di Candibaru ini berbeda dengan perkampungan pada umumnya karena rumah-rumah tersebut ditata layaknya perumahan umum. Deretan penduduk pribumi dengan atap jenis kampung tampak berdiri dengan rapinya. Masing-masing rumah diberi jarak sehingga cahaya dan udara tetap bisa masuk ke dalam rumah. Perkampungan tersebut mulai dibangun pada tahun 1918 dan proyeknya awalnya dikerjakan oleh Burgerlijke Openbare Werken atau Dinas Pekerjaan Umum. Awalnya dibangun dengan bahan semi-permanen namun karena biaya pemeliharaannya tinggi akhirna rumah-rumah tersebut digainti dengan bahan permanen pada tahun 1921. Saat ini, perumahan tersebut dikenal sebagai kampung Kintelan, Lempongsari, Ngaglik, Kalilangse dan Kagok (Gemeente Semarang, 1931 : 171). Pada masanya, kota Semarang termasuk progresif dalam urusan penyediaan rumah tinggal terjangkau untuk masyarakat ekonomi lemah.  Dalam peta kota Semarang tahun 1917 yang diterbitkan NILLMIJ, terlihat beberapa lahan ditandai sebagai “ontworpen voor Kampong” atau “dirancang untuk perkampungan”. Sayangnya, kebijakan perumahan rakyat tersebut tidak membawa perubahan yang berarti karena masih dilakukan dalam skala kecil. Pada masa kemudian, kebijakan tersebut ditinggalkan dan dilupakan begitu saja sehingga perkampungan di Kota Semarang tumbuh tanpa penataan sehingga menghasilkan kawasan yang terlihat kumuh.

Foto tampak udara kompleks CBZ dengan latar Candibaru
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Rumah Sakit Mata William Booth
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Suasana tenang dan sejuk kawasan Candibaru dimanfaatkan oleh rumah sakit dengan tujuan supaya selama dirawat pasien dapat beristirahat dengan tenang sehingga pemulihannya berjalan baik. Setidaknya terdapat tiga rumah sakit yang dibangun di Candibaru, yakni Rumah Sakit Mata William Booth, Rumah Sakit Elisabeth, dan Centraal Burgerlijke Zikenhuis (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pusat. Dari ketiga rumah sakit tersebut, yang paling besar adalah CBZ yang dibangun di kaki perbukitan Candibaru. Sebelum dibangunnya CBZ, layanan kesehatan untuk warga sipil di Semarang adalah Stadsverband yang terletak di Tawang dan Stadsverband pembantu di Alun-alun Semarang. Kedua Stadsverband menempati bangunan yang kecil dan fasilitas yang tersedia juga tidak memadai. Gagasan untuk menyatukan kedua layanan kesehatan tersebut menjadi satu rumah sakit terpadu dicetuskan pertama kali oleh Dr. Schulein dan N.F. Liem pada tahun 1912. Empat tahun semenjak gagasan tersebut mengemuka, bangunan rumah sakit belum dapat dibangun karena sulitnya mendapatkan lokasi yang sesuai. Pilihan lokasi akhirnya tertuju pada sebidang lahan antara Kalisari dengan lereng perbukitan Candi. Tempatnya memang agak jauh dari jalan utama, namun lingkungannya lebih sehat dibandingkan Stadsverband lama. Setelah lahan diperoleh, pembangunan rumah sakit sebenarnya sudah dapat dimulai pada tahun 1917. Rintangan datang saat pemerintah kolonial merampingkan anggaran belanja sehingga rancangan rumah sakit yang sudah terlanjur dibuat akhirnya diubah mengikuti anggaran yang tersedia (Lemey, 1926 : 17-19). 

Bangunan utama CBZ Semarang
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

CBZ Semarang yang saat ini menjadi RSUP Dr. Kariadi.

Rancangan rumah sakit yang sudah disederhanakan tersebut akhirnya mendapat persetujuan dari BGD (Burgerlijke Geneeskundige Dienst/Dinas Kesehatan), pembangunan rumah sakit akhirnya mulai dikerjakan pada November 1918 dan selesai pada tahun 1925. Total biaya yang dikeluarkan untuk membangunnya mencapai lebih dari dua juta gulden. Tingginya angka tersebut dikarenakan pembangunannya harus meratakan medan dan memperbaiki drainase. Insinyur Lemei dan Bolsius, arsitek perancang CBZ Semerang, menata bagian-bagian di dalam kompleks rumah sakit secara terpisah setelah mempelajari bangunan rumah sakit saat itu. Bangsal perawatan pasien ditempatkan jauh dari jalan raya supaya pasien dapat beristirahat senyaman mungkin dan pasien dirawat berdasarkan jenis penyakit yang diderita untuk memudahkan perawatan. Fasilitas seperti asrama, dapur, binatu, laboratorium, gudang obat, kamar bedah, dan kamar jenazah turut melengkapi CBZ Semarang (Lemey, 1926 : 19-24). Sejak tahun 1964, RSUP Semarang menyandang nama RSUP Dokter Kariadi untuk mengenang jasa Dokter Kariadi, salah satu dokter RSUP yang gugur dalam Pertempuran Lima Hari. RSUP Dokter Kariadi kini menjadi rumah sakit terbesar di Jawa Tengah dan pembangunan terus dilakukan guna meningkatkan layanan. Banyak bangunan lama yang akhirnya dikorbankan untuk kepentingan tersebut dan salah satu bagian kecil CBZ yang tertinggal adalah muka kompleks CBZ yang dahulu menjadi gedung administrasi dan tempat pelatihan calon perawat pribumi.

Bangunan Gereformeerde Kerk pada tahun 1930an
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Bangunan Gereformeerde Kerk yang sekarang menjadi GKI Gereformeerde Kerk.

Tidak jauh dari kompleks CBZ, bertengger sebuah gedung beratap khas yang dulunya dikenal sebagai Gereformeerde Kerk. Semenjak didirikan di Belanda pada tahun 1892, denominasi Gereformeerde Kerk mulai memperluas jemaatnya ke berbagai tempat termasuk di Semarang dengan mengutus Van Andel sebagai pendeta pertama di sana pada tahun 1918. Kebaktian semula dilangsungkan di Frobelschool yang terletak di Bojong. Tempat tersebut kemudian dirasakan tidak cukup menampung jemaat sehingga kebaktian dipindahkan ke Bijbelschool (Sekolah Injil). Keinginan untuk memiliki gedung gereja sendiri akhirnya menguat sehingga jemaat mulai menghimpun uang sedikit demi sedikit untuk mewujudkan keinginan tersebut. Keinginan untuk memiliki gedung gereja sendiri memang cukup tinggi sampai-sampai ada pembahasan untuk mendirikan gedung gereja semipermanen walau akhirnya ditolak. Berkat semangat jemaat yang tinggi rencana pembangunan gereja akhirnya dapat diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Arsitek J.Th.Van Oyen lalu mendapat tugas merancang gedung gereja. Lelang tender diadakan pada 22 Agustus 1922 dan upacara peletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gereja dilakukan pada 31 Oktober 1928. Pembangunannya berlangsung singkat dan gereja diresmikan pada 19 Mei 1929 oleh pendeta Sillevis Smit. Arsitek Oyen merancang bangunan gereja ini dalam gaya arsitektur ekspresionisme sehingga arsitektur gereja ini sangat menonjol dari lingkungan sekitarnya (De Locomotief 18 Mei 1929).

Bangunan Van Deventerschool beberapa saat setelah diresmikan
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Candibaru juga menjadi pilihan lokasi lembaga pendidikan Van Deventer School yang bangunannya kini dipakai oleh AKK & SMK Ibu Kartini. Sesuai namanya, pendirian Van Deventer School merupakan upaya memenuhi harapan Van Deventer School, sosok yang berjasa dalam upaya pendirian Kartini-School di Hindia-Belanda. Mengambil nama sosok R.A. Kartini, putri bupati Jepara yang dikenal akan pemikirannya gagasannya untuk memajukan pendidikan perempuan pribumi, Kartini-School dibuka untuk pertama kalinya di Semarang pada 15 September 1914 oleh Yayasan Vereeniging Kartinifonds. Kartini-School dibuka untuk anak-anak perempuan pribumi dan mengadopsi pola pendidikan modern. Lebih jauh lagi, Van Deventer berharap supaya pendidikan perempuan yang ada saat itu mampu mengangkat harkat perempuan pribumi sebagai ibu, istri, dan pendidik yang terpelajar dan bermutu. Harapan tersebut baru dapat terpenuhi setelah Van Deventer meninggal pada tahun 1915 dengan dibentuknya Van Deventer Stichting pada 2 Juni 1917 oleh Vereeniging Kartinifonds. Perjalanan sejarah Van Deventer School dimulai dari peresmiannya pada 4 Juni 1921. Karena belum memiliki gedung sendiri, maka kegiatan belajar mengajar masih menginduk di gedung Kartini School yang berlokasi di jalan Dr. Cipto. Pendidikan yang diajarkan di Van Deventer School meliputi kerajinan, ilmu alam, ilmu kerumahtanggan, dan pendidikan guru Frobelschool (Taman Kanak-kanak). Untuk yang terakhir pelajaran tersebut diberikan sebagai syarat sekolah tersebut mendapat tunjangan subsidi dari pemerintah (Vereeniging van Kartinifonds, 1938 : 83).

Sekolah Van Deventer School yang sekarang menjadi AKK Ibu Kartini.

Van Deventer School menerapkan pendidikan asrama dan untuk keperluan tersebut sekolah dua rumah di Jalan Dr. Cipto disewa sebagai asrama. Berulang kali mereka berpindah asrama karena jumlah murid bertambah setiap memasuki tahun ajaran baru sehingga muncul keinginan untuk memiliki gedung sekolah sendiri. Keinginan tersebut akhirnya terkabulkan setelah pemerintah kolonial bersedia mensubsidi pembelian tanah dan pembangunan gedung sekolah baru. Kendati Vereeniging Kartinifonds sudah mempunyai lahan luas di sebelah Kartini-School, namun Van Deventer School kurang berminat karena tempatnya tidak cocok untuk asrama dari segi kesehatan. Daerah yang lebih sehat seperti Candibaru jelas lebih cocok untuk lokasi sekolah asrama. Akhirnya pemerintah dan yayasan sepakat untuk menukar lahan masing-masing sehingga Van Deventer School berhasil mengamankan lokasi sekolah. Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan pada 9 Februari 1924 dengan arsitek Thomas Karsten sebagai perancangnya dan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh pemborong Lutjens. Gedung baru Van Deventer School Semarang diresmikan pada 30 Oktober 1924 (Vereeniging van Kartinifonds, 1938 : 84). Pusat utama dari bangunan Van Deventer School adalah pendapa besar yang ada di tengah yang berfungsi sebagai ruang serbaguna. Ruang-ruang kelas dirancang sedemikian rupa untuk mendukung pelajaran yang kebanyakan diajarkan secara praktik. Fasilitas penunjang lain seperti rumah dinas pengajar juga dibangun menyatu dengan bangunan utama. Pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan Van Deventer School terhenti dan baru aktif kembali pada tahun 1950. Kali ini, operasional Van Deventer School dijalankan oleh orang Indonesia dengan Nyonya Nafsiah Budiono sebagai ketuanya (De Locomotief 8 Mei 1950).

Tampak depan Rumah Sakit Elizabeth saat tahap akhir pembangunan (sumber : Arsitektur di Nusantara).

Dua tahun sesudah dibukanya Van Deventerschool, proyek besar lainnya juga dibangun di Candibaru. Kali ini adalah rumah sakit milik kongregasi Suster Fransiskan (OSF) biara induk Heythuizen. Sejak tahun 1870an, kongregasi tersebut telah memulai pengabdiannya di kota Semarang dengan pelayanan pendidikan dan perawatan anak-anak panti asuhan Katolik di Gedangan. Meskipun sudah lama berada di Semarang, OSF pengabdian mereka belum terasa sempurna tanpa kehadiran rumah sakit. Jalan untuk mendirikan rumah sakit dimulai dari kegiatan-kegiatan pengumpulan sumbangan pada tahun 1920. Sejumlah dermawan dari Semarang baik yang Katolik maupun non-Katolik ikut menyumbang untuk pendirian rumah sakit yang rencananya akan dibangun di Candibaru. Bukan tanpa alasan kongregasi memilik tempat tersebut karena kawasan Candibaru memiliki udara yang bersih, mudah dicapai oleh angkutan umum, dan bebas banjir menjadi prasyarat ideal untuk mendirikan rumah sakit. Terlebih lahan sekitarnya masih kosong sehingga memungkinkan perluasan di masa mendatang. Sumbangan yang sudah diterima selanjutnya digunakan untuk membeli sepetak lahan milik Oei Tiong Ham pada 3 September 1923. Namun proses untuk menjadikan tanah itu sebagai hak milik terbentur oleh aturan. Proses pembangunan baru dimulai kembali sesudah mendapat kepastian soal status tanah.

Bagian depan RS Elizabeth pada masa sekarang.

Arsitek Thomas Karsten didapuk merancang gedung rumah sakit dan kali ini ia dibantu oleh A. Schouten. Mengingat Karsten belum pernah menggarap kompleks rumah sakit, maka ia mempelajari sejumlah standar kesehatan saat itu. Karsten juga tidak segan meminta pendapat ahli-ahli kesehatan perihal kendala yang ditemukan pada bangunan rumah sakit modern serta bagaimana pemecahannya. Jadwal tender yang semula dijadwalkan pada bulan Agustus akhirnya mundur pada November 1925 karena terdapat sejumlah perubahan dalam rancangannya. Dari lima pemborong, tender dimenangkan oleh Pieters & Co pada Februari 1926 dengan kontrak sebesar 499.000 gulden. Kontrak tersebut selanjutnya diturunkan menjadi 396.00 gulden karena angka sebelumnya dinilai terlalu tinggi (De Indische Courant, 2 Maret 1926). Berdasarkan prasasti lama yang tertempel di dinding rumah upacara peletakan batu pertama pada 26 Mei 1926 oleh Mgr. A. van Velsen. Di tengah pembangunannya, harga bangunan tiba-tiba naik secara tajam. Sehubungan masalah tersebut, Pieters menghentikan kontrak karena tidak mendapat dana tambahan dari kongregasi untuk meneruskan pekerjaan. Kongregasi saat itu juga sedang mengalami kesluitan. Kendati bagian seperti kapel dan susteran belum tuntas pengerjaanya, namun setiap kamar sudah terisi dengan perlengkapan yang diperlukan dan peresmian RS Elisabeth pada 18 Oktober 1927 oleh Mgr. A. van Velsen membuka lembaran sejarah RS Elisabeth. Sekalipun Rumah Sakit Elisabeth dikelola oleh kongregasi Katolik, namun seluruh pasien dirawat dan diperlakukan sama baiknya terlepas dari latar belakang agama, ras atau kedudukan sosialnya.

Gedung Penelitian Gula Semarang
(Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Sayangnya tidak semua bangunan-bangunan bersejarah di Candibaru selamat dari perkembangan zaman. Sepotong sejarah yang hilang dari Candibaru bangunan Suiker Proefstation atau Pusat Penelitian Gula. Sejarah pendiriannya dapat ditarik mundur jauh sebelum kawasan Candibaru dibuka. Sebelum adanya Suiker Proefstation, sampel-sampel gula harus dikirim ke Eropa untuk diteliti. Proses tersebut jelas tidak praktis karena jauhnya jarak dan keterbatasan transportasi. Hal ini mendorong para industriawan gula dI Jawa mendirikan pusat penelitian gula pertama di kota Semarang pada tahun 1885 dan belakangan menjadi "Pusat Penelitian Gula Jawa Tengah". Kemudian disusul pula pusat penelitian gula untuk Jawa bagian barat di Kagok pada tahun 1886 dan untuk Jawa bagian timur didirikan di Pasuruan pada tahun 1887. Seiring waktu, dilakukan beberapa reorganisasi. Kantor "Pusat Penelitian Gula Jawa Tengah" dibubarkan pada tahun 1893. Kemudian dilakukan spesialisasi dimana kantor di Pasuruan untuk bidang pertanian tebu dan kantor di Pekalongan khusus untuk bidang teknologi (De Indische Courant 8 Juli 1937). Kantor Pusat Penelitian Gula Pekalongan dipindahkan ke perbukitan Candibaru pada tahun 1919. Bangunannya dibuat tidak semegah dari rancangan awal karena penjualan gula yang sedang menurun akibat Perang Dunia I dan adanya sejumlah penyimpangan saat pembangunan. Kehadiran bangunan pusat penelitian gula ini rupanya menuai kontroversi. Salah satu sumbernya berasal dari keberadaan cerobong asap yang menjulang di tengah Candibaru dan dinilai merusak pemandangan kawasan (De Locomotief 11 Maret 1919). Keberadaan pusat penelitan gula di Candibaru tidak bertahan lama karena semua pusat penelitian gula di Jawa dilebur di Pasuruan dan proses pemindahannya berlangsung dari tahun 1921-1924 (De Indische Courant 8 Juli 1937). Bekas gedungnya kemudian beralihfungsi menjadi kantor dan asrama veldpolitie atau polisi lapangan pada tahun 1927 (De Locomotief 25 Januari 1927). Pada tahun 1992, gedung ini sempat ditetapkan sebagai cagar budaya namun entah bagaimana ceritanya gedung bersejarah tersebut akhirnya dilibas habis tak bersisa. Lokasi gedung tersebut saat ini sudah berdiri Padma Hotel yang menjulang tinggi seperti cerobong proefstaton di masa lalu.

Sekian ulasan Jejak Kolonial mengenai Candibaru, suatu kawasan permukiman yang lahir dari niat mulia sejumlah tokoh masa lampau Semarang terhadap keadaan lingkungan kotanya yang butuh perbaikan. Tanpa kepedulian dan keseriusan berbagai pihak saat itu, barangkali perbukitan Candi hanya akan menjadi perbukitan gersang yang tiada artinya dan. Kendati penataanya masih berbingkai dengan segregasi ras, namun upaya mengintegrasikan antara perkampungan pribumi ke dalam perluasan kota adalah suatu hal yang progesif di masanya dan hal inilah yang membuat unik Candibaru dibandingkan kota taman lain di Hindia-Belanda. Pada masa sekarang, wajah tempo dulu Candibaru telah tenggelam oleh berbagai bangunan baru yang telah mengisi setiap jengkal lahan. Kendati demikian karisma Candibaru sebagai kawasan hunian elit nan eksklusif belum sepenuhnya hilang. Hal tersebut dibuktikan dengan deretan rumah-rumah berarsitektur kekinian yang tersembunyi di balik pagar tinggi dan gerbang yang senantiasa tertutup. Sudah semestinya Candibaru menjadi kawasan bersejarah yang patut dilindungi kendati kenyataan di lapangan berkata lain. Oleh karena itu,  pemegang kebijakan diharapkan dapat menciptakan regulasi dan rencana pengelolaan yang berkelanjutan dan tepat, sehingga kawasan bersejarah ini tak sekedar menjadi catatan tertulis semata, namun juga dapat dilihat dan dirasakan oleh anak cucu suatu hari nanti…..

Referensi

Stadsgemeente Semarang. 1939. Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi. Semarang : Druk Masaman & Stroink.

Gemeente Semarang. 1931. Gedenkboek der Gemeente Semarang 1906-1931. Semarang : N.V. Dagblad de Locomotief.

Indishce Genootschap, 1917. Het Uitbreidingsplan der Indische Gemeente, s' Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Lemey, W. 1926. "De Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting te Semarang" dalam Bouwen Tijdschrift voor Holland en Indie. Rotterdam : Van Staal & Co. halaman 17-24.

Pont, Maclaine. 1918.  "Een algemeen uitbreidings- en verbeteringsplan voor de gemeente Semarang" dalam De Ingenieur No.18 halaman 328-334.

Algemeene Handelsblad, 4 Januari 1930

De Indische Courant, 2 Maret 1926

De Locomotief 18 Mei 1929

De Locomotief 8 Mei 1950

De Indische Courant, 8 Juli 1937

De Locomotief, 11 Maret 1919

De Indische Courant, 8 Juli 1937

De Locomotief, 25 Januari 1927

1 komentar:

  1. terimakasih atas artikel ini. artikel ini menjadi "tombo kangen" saya dengan kota semarang yang pernah menjadi saksi bisu kota rantau pertama saya setelah lulus kuliah. Jika memungkinkan. dapatkah selanjutnya mengulas ereveld candi dan kalibanteng dalam satu episode khusus. Bedankt, terimakasih

    BalasHapus